Masuk

Jumat, 30 November 2012

Inilah Kisah Kehidupan Sesudah Pensiun Jadi Atlet






Inilah Kisah Kehidupan Sesudah Pensiun Jadi Atlet





Ilustrasi : Perahu naga


BANJARMASINPOST.CO.ID - Habibatul Fasihah (2 tahun 8 bulan) terbaring tanpa baju di kamar mes
Pemerintah Provinsi Jambi di Jalan Cidurian, Cikini, Jakarta, Kamis
(29/11). Sekujur tubuh anak itu melepuh dan memerah seperti tersiram air
panas. Banyak bekas luka di tubuhnya. Ada yang mulai mengering, ada
yang jadi koreng.

Habibatul adalah anak ketiga Leni Haini (34),
mantan atlet perahu naga asal Jambi, yang mempunyai prestasi
internasional. Saat ini, keduanya berada di Jakarta untuk mengobati
penyakit Habibatul yang tergolong langka.

Upaya pengobatan itu
tak mudah bagi Leni. Kontras dengan kilau prestasinya sebagai peraih 2
medali emas dan 2 perak pada SEA Games 1997 serta 1 emas dan 3 perak
pada SEA Games 1999, ia hidup dalam kemiskinan.

Sebagai
penyumbang 2 emas dalam kejuaraan perahu naga Asia di Singapura 1996, 3
emas dan 1 perak di kejuaraan dunia perahu naga di Hongkong 1997, serta 1
emas pada kejuaraan perahu naga Asia di Taiwan 1998, Leni benar-benar
terpuruk secara ekonomi.

Kemiskinan yang menimpa atlet nasional
seperti Leni adalah realitas dalam dunia olahraga Indonesia. Masa muda
atlet dihabiskan dengan latihan dan latihan. Pendidikan kognitif
terabaikan. Tanpa pendidikan, atlet terjun tanpa keterampilan dan
wawasan menghadapi realitas hidup setelah ”pensiun”.

Leni yang
lulusan sekolah dasar hanya bisa bekerja serabutan. Kadang Leni jadi
buruh cuci, kadang jadi buruh di perusahaan katering. Pokoknya, segala
pekerjaan dilakoni Leni untuk mencukupi kebutuhan. Suaminya, M Ikhsan
(35), hanyalah petugas kebersihan di kompleks DPRD Jambi dengan
penghasilan Rp 1 juta per bulan.

Sudah hidup miskin, anak
ketiganya itu menderita penyakit langka yang ia sebut rapuh kulit. Leni
tak hafal nama medis penyakit yang berbahasa Latin itu.

Kulit
Habibatul sangat rapuh dibandingkan kulit normal sehingga mudah melepuh
atau terkelupas jika digaruk. Jari-jari kakinya menyatu, sampai ke-10
jarinya sudah tak berbentuk.

Leni mengatakan, penyakit putrinya
itu diderita sejak lahir. Habibatul lahir prematur dengan bobot 1,8
kilogram. Saat lahir, sudah terlihat kelainan pada kulit Habibatul
karena dari kulitnya keluar banyak darah.

Sejak umur beberapa
hari sampai 1,5 tahun, Leni dan suaminya berusaha menyembuhkan penyakit
yang diderita sang buah hati dengan dana pribadi. Leni sampai menjual
rumah dan tanah hasil kerja suaminya demi pengobatan putrinya.

”Dokter
di Jambi tidak ada yang tahu penyakitnya. Sudah 1,5 tahun diobati belum
sembuh. Desember 2011, Habibatul saya bawa berobat ke Jakarta. Memang
ada perkembangan, tetapi harga obatnya Rp 1,5 juta untuk sebulan dan di
Jambi tidak ada obatnya,” kata Leni.

Ia menuturkan, sebagai warga
miskin, ia berhak mendapat pelayanan kesehatan gratis lewat program
Jaminan Kesehatan Daerah. Namun, sebagai pasien miskin, Habibatul tak
mendapat penanganan maksimal.

Leni dan Habibatul nekat berobat ke
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Senin (26/11), dengan bantuan
tiket pesawat dari seorang dermawan. Saat berangkat, uang di kantong
Leni hanya Rp 500.000. ”Saya pergi ke Jakarta karena obat habis. Selain
itu, Habibatul juga menjerit kesakitan setiap buang air besar karena
kulit di anusnya mulai menyatu,” katanya.

Leni sempat ditampung
di rumah pekerja sosial yang membantunya sebelum pindah ke mes Pemprov
Jambi di Cikini. Awalnya Leni mendapat kamar ”istimewa” yang letaknya di
lantai dasar, tempat parkir mobil. Saat ini, ia sudah pindah ke kamar
yang lebih baik. Leni belum tahu sampai kapan ia tinggal di Jakarta.

Pendidikan terabaikan

Leni
bertutur, kesulitan yang ia hadapi saat ini berhubungan dengan pelatnas
jangka panjang yang ia ikuti. Saat ia dipanggil masuk pelatnas dayung
pada 1995, sebenarnya ia sudah mempertanyakan mengenai sekolahnya kepada
pengurus provinsi Pengurus Besar Persatuan Olahraga Dayung Seluruh
Indonesia Jambi saat itu.”Saat itu saya sudah satu bulan
bersekolah di SMP. Namun, dijawab lebih baik saya mengikuti panggilan
pelatnas. Urusan sekolah bisa nanti. Saya ikuti saja. Tak tahunya,
begitu saya mundur dari pelatnas 1999, saat saya 22 tahun, pengurus
sudah berganti dan tidak lagi memedulikan pendidikan saya yang
terhenti,” ujar Leni.

Sebagai atlet yang sudah mengharumkan Jambi, Leni mencoba menghadap Wali Kota Jambi saat itu. Hasilnya nihil.

”Saya
datang untuk mempertanyakan janji beliau, atlet-atlet Jambi yang
mengharumkan Jambi dan Indonesia di SEA Games akan mendapat pekerjaan.
Namun, sampai hari ini, saya tidak tahu kabar janji itu,” ujar Leni
dengan sedih. Alhasil, sebagai ibu rumah tangga dengan bekal ijazah SD,
Leni tidak memiliki kecakapan apa pun.

Leni pun menyimpulkan,
tiada gunanya menjadi juara Asia, bahkan juara dunia sekalipun. ”Tak ada
perhatian dari pemerintah, khususnya Pemprov Jambi. Saya sudah
mengharumkan Jambi melalui dayung. Saya sampai melarang anak saya jadi
atlet karena sakit hati,” ujarnya sambil menahan derai air mata.

Saking
kecewanya dengan dunia olahraga yang pernah ia geluti dan kepepet
kebutuhan untuk mengobati anaknya, Leni pernah mau menjual medali-
medalinya. ”Saya sudah habis- habisan mengobati Adek. Rumah dan tanah
milik suami sudah dijual untuk mengobati Adek. Kalau ada yang tertarik,
saya mau menjual medali emas milik saya,” ujar Leni.














Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PEDOMAN SEBELUM KOMENTAR
Kami sangat senang atas semua tanggapan anda terhadap artikel yang kami muat bangun budaya berkomentar yang baik. Bila menemukan komentar bermuatan menghina atau spam, segera laporkan ke Admin kami.

Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.

Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar

 

Arsip Blog

Friends Blog

Copyright © 2011. Berita Aneh Unik Dunia - All Rights Reserved
Template Created by MybloG
Proudly powered by Blogger